 Sejarah nama Indonesia menurut wikipedia muncul pada  masa penjajahan India-Belanda, nama Indonesia pertama kali digunakan  oleh dua orang Inggris, yaitu George Samuel Windsor Earl yang merupakan  seorang pengacara kelahiran London dan James Richardson Logan, seorang  pengacara kelahiran Scotlandia. Cuplikan dari wikipedia yang di mulai  dari Sejarah nama Indonesia, Nama Indonesia, dan Politik  menjelaskan secara rinci tentang asal mula nama indonesia. Memang tidak  banyak orang yang peduli dengan asal nama Indonesia, kecuali mereka  yang memang benar-benar ingin tahu tentang sejarah awal mula nama Indonesia.  Dari postingan di awalmula.com kita berharap semua orang tahu sejarah  dan bagaimana kata Indonesia bisa muncul dan di patenkan sebagai nama  Republik Indodesia sekarang ini.
Sejarah nama Indonesia menurut wikipedia muncul pada  masa penjajahan India-Belanda, nama Indonesia pertama kali digunakan  oleh dua orang Inggris, yaitu George Samuel Windsor Earl yang merupakan  seorang pengacara kelahiran London dan James Richardson Logan, seorang  pengacara kelahiran Scotlandia. Cuplikan dari wikipedia yang di mulai  dari Sejarah nama Indonesia, Nama Indonesia, dan Politik  menjelaskan secara rinci tentang asal mula nama indonesia. Memang tidak  banyak orang yang peduli dengan asal nama Indonesia, kecuali mereka  yang memang benar-benar ingin tahu tentang sejarah awal mula nama Indonesia.  Dari postingan di awalmula.com kita berharap semua orang tahu sejarah  dan bagaimana kata Indonesia bisa muncul dan di patenkan sebagai nama  Republik Indodesia sekarang ini.1. Sejarah nama Indonesia
Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama. Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai (“Kepulauan Laut Selatan”). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (“Kepulauan Tanah Seberang”), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (“Pulau Emas”, diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama. Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai (“Kepulauan Laut Selatan”). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (“Kepulauan Tanah Seberang”), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (“Pulau Emas”, diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah  kepulauan itu sebagai Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk  kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi (“kemenyan  Jawa”), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon  Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini  jemaah haji kita masih sering dipanggil “orang Jawa” oleh orang Arab,  termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa  Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau  Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi (“semuanya  Jawa”).
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan  bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok.  Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok  semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka”  dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”, sementara kepulauan  ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian  Archipelago, l’Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East  Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah  “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel  Malais).
Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda  memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah  pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk  menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.
Eduard Douwes  Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah  memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu  “Insulinde”, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (dalam bahasa Latin  “insula” berarti pulau). Nama “Insulinde” ini selanjutnya kurang  populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan  di awal abad ke-20.
2. Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: “Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur”)), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: “Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur”)), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun  1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics  of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations (“Pada  Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan  Melayu-Polinesia”). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah  tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk  memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah  tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl  mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (“nesos” dalam  bahasa Yunani berarti “pulau”). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis  (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):
“… Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi “Orang Indunesia” atau “Orang Malayunesia”".
Earl  sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada  Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras  Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan  Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan  Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh  kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah  Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA  Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis  artikel The Ethnology of the Indian Archipelago (“Etnologi dari  Kepulauan Hindia”). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya  nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian  Archipelago (“Kepulauan Hindia”) terlalu panjang dan membingungkan.  Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u  digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah  istilah Indonesia. Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia  dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke  Bahasa Indonesia):
“Mr Earl menyarankan istilah etnografi  “Indunesian”, tetapi menolaknya dan mendukung “Malayunesian”. Saya lebih  suka istilah geografis murni “Indonesia”, yang hanya sinonim yang lebih  pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia”
Ketika  mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di  kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan  secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan  ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan  para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru  besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian  (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen  Archipel (“Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu”) sebanyak  lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di  kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang  memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga  sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian.  Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie  van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil  istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang  mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat  (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia  mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.  Nama  Indonesisch (pelafalan Belanda untuk “Indonesia”) juga diperkenalkan  sebagai pengganti Indisch (“Hindia”) oleh Prof Cornelis van Vollenhoven  (1917). Sejalan dengan itu, inlander (“pribumi”) diganti dengan  Indonesiër (“orang Indonesia”).
3. Politik
Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922  atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool  (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa  Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische  Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau  Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama  menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara  Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische  staat) mustahil disebut “Hindia-Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja,  sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami  nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel),  karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan,  dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha  dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Di Indonesia Dr.  Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu  juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis  Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk  kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga  organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”.  Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan  bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober  1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan  Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen  Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan  Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar  nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”.  Permohonan ini ditolak. Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret  1942, lenyaplah nama “Hindia-Belanda”. Pada tanggal 17 Agustus 1945,  menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia 
 

 
 
 
 
 
0 Komentar untuk "Sejarah Nama Indonesia"
Syukron telah mengomentari tautan blog ini, Insya Alloh jadi refleksi menuju berkemajuan