Powered by Blogger.

Ada Pemurtadan di IAIN


Pengantar Redaksi:
Pada tanggal 16 April 2005 lalu, berlangsung acara   bedah buku di UIN (alias IAIN) Jakarta. Buku yang   dibedah berjudul “Ada Pemurtadan di IAIN” karya Hartono Ahmad Jaiz. Pemrakarsa acara tersebut adalah   anak-anak JIL.
 Hartono Ahmad Jaiz, sempat terkejut dengan banyaknya  audiens yang menghadiri acara ini. Jumlahnya seribu   lebih. Dan yang lebih mengagetkan lagi, massa yang   banyak itu justru berasal dari luar UIN, yaitu mereka   yang kontra JIL. Tentu saja kehadiran mereka itu   membuat komunitas JIL (dan anak-anak UIN pro JIL)   menjadi ciut. 
Sayangnya, atau culasnya, moderator yang pro JIL tidak   memberi kesempatan kepada audiens untuk terlibat dalam   tanya jawab. Meski demikian, kedua ‘pakar’ JIL   kedodoran menghadapi Hartono Ahmad Jaiz dan Muhammad   At-Tamimi.
Kehadiran audiens yang kontra JIL dengan jumlah yang tak terduga itu, nampaknya menunjukkan bahwa generasi  muda Islam kita memang masih banyak yang waras. Kedua,   menunjukkan bahwa kontribusi para aktivis Islam di internet yang turut   mensosialisasikan adanya acara tersebut, ternyata   cukup efektif. Ketiga, ini merupakan pertolongan Allah   SWT. 
Sayangnya, ketika ‘cendekiawan dan misionaris JIL’ ini   keok -bahkan di sarangnya sendiri- tidak ada satu pun media massa yang mempublikasikannya. Oleh karena itu,  merupakan kewajiban kita untuk mempublikasikan laporanpandangan mata di bawah ini yang disusun oleh akh Abu   Qori.
  Mau Menyanggah Malah Kejeblos
Maksud hati mau menepis dan menyanggah isi buku Ada  Pemurtadan di IAIN, tetapi yang terjadi justru   sebaliknya. Para misionaris JIL itu malah terperosok   ke dalam kubangan yang mereka sediakan sendiri. Forum bedah buku yang semula diharapkan dapat ‘membantai’ Hartono Ahmad Jaiz malah menjadi ajang pembuktian  bahwa di IAIN memang ada pemurtadan. Hujjah-hujjah yang diajukan para misionaris JIL itu justru secara tidak langsung malah meneguhkan adanya proses  pemurtadan di IAIN.
Acara bedah buku karya Hartono Ahmad Jaiz itu berlangsung di Masjid Kampus UIN (Universitas Islam  Negeri) Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta, Sabtu 16 April 2005 bertepatan dengan tanggal 7 Rabi’ul Awwal   1426 Hijriah. 
Tak dinyana, acara yang sepi promosi ini ternyata dihadiri 1000-an peserta, sebagian besar justru   berasal dari luar kampus UIN. Sehingga, perhelatanyang semula dirancang bertempat di Fak Ushuluddin dan Filsafat, karena tidak mampu menampung audiens, dipindahkan ke Masjid, khususnya di lantai 2 dan 3.
Pembicara empat orang. Dua pembicara yang membuktikan  adanya pemurtadan di IAIN adalah Hartono Ahmad Jaiz  (penulis buku yang dibedah) dan Muhammad At-Tamimi dari Purwakarta Jawa Barat. Sedangkan dua pembicara  lainnya -yang tampaknya membawa misi untuk menepis danya pemurtadan di IAIN namun justru hujjah-hujjahnya menggunakan pemahaman, materi, dan  metode orang murtad- adalah Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL (Jaringan Islam Liberal) dan Abdul Muqsith Ghazali MA dosen/alumni UIN Jakarta yang juga termasuk penyusun CDL KHI (Counter Draft Legal   Kompilasi Hukum Islam) pimpinan Dr Musdah Mulia yang   telah dicabut Menteri Agama karena isinya meresahkan dan bertentangan dengan Islam. 
  Acara berlangsung seru, ada pekik Allahu Akbar dan tepuk tangan bertalu-talu, meski moderator sudah  mengingatkan agar tidak bertepuk tangan di dalam   masjid.  Materi, pemahaman, dan metode yang ditempuh Muqsith   dan Ulil justru menambah bukti bahwa apa-apa yang   ditulis di dalam buku Ada Pemurtadan di IAIN terbitan   Pustaka Al-Kautsar Jakarta setebal 280 halaman itu,  memang benar adanya.Karena, hujjah-hujjah dan metode dua pembicara yang pro IAIN dalam membantah buku itu  memang diambil dari materi dan pemahaman kelompok   ataupun tokoh yang sudah dinyatakan kekufurannya oleh  para ulama. Atau, mereka menggunakan pemahaman mereka sendiri yang   tanpa dasar, lalu sampai berani menolak hadits yang  shahih, dan hukum Allah swt dalam Al-Qur’an. Di   samping itu masih disertai dengan  kebohongan-kebohongan untuk memberikan cap-cap sangat   buruk kepada penulis buku. Akibatnya, ketika kebohongan-kebohongan itu dibalikkan oleh penulis buku, maka terkuaklah kesempurnaan bahwa produk dan  bahkan dosen IAIN yang dijagokan untuk membela IAIN   justru lebih buruk dari yang telah ditulis di buku   itu. 
  Artinya, isi buku Ada Pemurtadan di IAIN tidak lebih  seram dibanding dengan kenyataan yang ditemukan di  lapangan, melalui forum bedah buku tersebut.   Membela pemurtadan dengan pemahaman kufur Jalan yang ditempuh Muqsith dan Ulil dalam membela   IAIN ketika bedah buku itu adalah:
  1. Berbohong dalam rangka memberikan stigma sangat  buruk kepada penulis buku.
  2. Membela kemurtadan atau kekufuran dengan faham kekufuran, dan justru ditawarkan kepada penulis buku agar mempelajarinya. Bahkan mereka meng-klaim bahwa di  IAIN tidak ada pemurtadan, yang terjadi sesungguhnya adalah proses adalah pluralisasi penafsiran. Dan yang  dijadikan hujjah adalah penafsiran orang-orang yang  sudah divonis oleh para ulama sebagai kafir ataupun   zindiq yaitu Ikhwanus Shofa’ dan Ibnu ‘Arabi tokoh tasawuf sesat berfaham wihdatul adyan (menyamakan  semua agama) dan wihdatul wujud (satunya alam dengan Tuhan). 
  3. Melecehkan penulis -yang banyak mengutip  ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi- dengan tuduhan  terlalu ‘memberhalakan’ huruf-huruf Al-Qur’an. Tuduhanitu didibalikkan oleh penulis: karena penulis   mengikuti Al-Qur’an, maka pada hari Jum’at ia pun   melaksanakan shalat Jum’at; sedangkan Ulil, justru   leha-leha berseminar dengan orang Kristen membahas tentang Tuhan di hari Jum’at dari jam 10 hingga 13 dan  tidak shalat Jum’at, tandas Hartono Ahmad Jaiz sambil   mengangkat Majalah Gatra edisi 26 Februari 2005 yang memberitakan bahwa Ulil tidak Shalat Jum’at.
   4. Memberi cap buruk kepada penulis sebagai orang yang melanggar prinsip-prinsip dasar Al-Qur’an, karena penulis tak membolehkan nikah beda agama. Penulis  menguraikan tentang dosen-dosen IAIN, Dr Zainun Kamal dan Dr Kautsar Azhari Noer, yang menikahkan wanita  muslimah dengan lelaki Nasrani, dan lelaki muslim   dengan wanita Konghucu. Pernikahan itu bertentangan   dengan Al-Qur’an surat Al-Mumtahanah (60) ayat 10 dan  Al-Baqarah (2) ayat 221. Muqsith yang alumni dan dosen UIN Jakarta justru membela dosen-dosen IAIN yang   melanggar ayat-ayat itu dan malahan memberi cap buruk  kepada penulis buku. Maka, Muhammad At-Tamimi dengan tegas menyatakan penolakan terhadap ayat itu sebagai  sikap orang gila yang berbicara agama tetapi dengan   dalih “menurut saya". 
  5. Gagal memberikan cap buruk tentang akhlaq penulis dan isi buku, karena tuduhan-tuduhan Muqsith  dan Ulil itu tak sesuai fakta, maka lebih drastis lagi, Muqsith membela ajakan dzikir dengan lafal anjing hu akbar, dengan mengemukakan bahwa dzikir  dengan lafal anjing hu akbar pun kalau niatnya… (tidak  jelas suara Muqsith karena suara hadirin gemuruh) maka bisa meninggikan maqamnya ( maqam di sisi Iblis…). Ungkapan itu menjadikan para hadirin berteriak gemuruh, menyiratkan  kejengkelan karena justru keluar betul keaslian produk  IAIN yang diangkat jadi dosen ternyata seburuk itu pemikirannya dan keyakinannya. Bagaimana lagi para  mahasiswa asuhannya nanti.?? 
  6. Ulil berani menolak hadits shohih, walaupun dirinya mengakui bahwa hadits itu shohih, hanya karena  keberanian menurut dirinya. Ulil juga mengakui bahwa dirinya menulis di Kompas, tidak ada hukum Tuhan. Maka Muhamad At-Tamimi menyebut Ulil sebagai orang gila  pertama dan Muqsith orang gila kedua. Karena Allah swt  telah menurunkan wahyu tetapi ditolak dan disebut tidak ada hukum Tuhan. Ini jelas murtad, kufur.  Berbohong atau memutar balikkan   Kebohongan yang dilontarkan, di antaranya Muqsith mengemukakan bahwa penulis buku ini sampai menulis: Si  jompo Sinta Nuriyah. “Penulis ini akhlaqnya masih   akhlaq orang beriman atau tidak. Kalau orang beriman  tentunya tidak menulis seperti itu,” kata Muqsith. 
Kebohongan itu dijawab oleh Hartono Ahmad Jaiz (penulis), bahwa di buku Ada Pemurtadan di IAIN ini  tidak ada tulisan yang bunyinya si jompo. Yang ada   hanyalah penjelasan tentang keadaan, yaitu yang sudah jompo. Lantas, lanjut Hartono, “yang tidak berakhlaq itu yang mengubah perkataan ini atau siapa?” Dan juga,   “orang yang mengajak berdzikir dengan lafal anjing hu akbar (di IAIN Bandung) malah dibela. Kemudian orang   yang tidak menulis si jompo dikatakan menulis si jompo  dan dianggap tidak berakhlaq. Ini yang tak berakhlaq dan imannya perlu dipertanyakan itu siapa.”  Kebohongan yang kedua namun tidak sempat dibantah  karena sempitnya waktu, adalah perkataan Muqsith bahwa   Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul Kubro (karangan  As-Sya’roni) disebutkan, menurut pendapat Imam Ahmad, aurat wanita itu hanyalah qubul dan dubur (kemaluan   depan dan belakang). 
  Perlu dikemukakan dalam tulisan ini, Muqsith yang dosen dan alumni UIN Jakarta itu apakah ingin  mengkampanyekan agar wanita-wanita di bumi ini bertelanjang atau bagaimana, yang jelas dia dalam membela IAIN itu telah menyembunyikan sesuatu. 
  Dalam kitab Mizanul Kubro itu ada wanita merdeka (al-hurroh) dan wanita budak (al-ammah). Aurat wanita merdeka adalah seluruh tubuhnya, kecuali mukanya dan  kedua telapak tangannya, menurut pendapat Malik, Syafi’i, dan Ahmad dalam salah satu dari dua riwayatnya. Menurut Abu Hanifah, seluruh tubuh wanita   adalah aurat kecuali mukanya, dua telapak tangannya, dan dua telapak kakinya. Riwayat lain dari Ahmad, (seluruh tubuh wanita adalah aurat) kecuali mukanya   saja. (Al-Mizanul Kubro Juz 1, halaman 170, cetakan I,  Darul Fikr Beirut, dalam hal syarat sahnya sholat  tentang menutup aurat).  Aurat wanita budak (al-ammah) dalam sholat adalah antara pusarnya dan lututnya seperti aurat laki-laki.  Ini menurut pendapat Malik, Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Ahmad; dan riwayat yang lain bahwa  auratnya (wanita budak/al-ammah) adalah qubul dan   dubur saja. (ibid). Dalam Kitab Mizanul Kubro itu  dijelaskan, yang diamalkan oleh salafus sholih adalah  yang pertama (aurat budak wanita, antara pusar dan   lutut) karena tidak adanya syahwat untuk melihat budak  wanita di luar sholat, lebih-lebih ketika sholat.   (ibid). 
Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul Kubro bab shalat itu  dikutip pendapatnya bahwa aurat wanita merdeka  (al-hurrah) adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan  dua telapak tangannya atau bahkan seluruh tubuh  kecuali muka saja  
  Perlu dijelaskan kebohongan Muqsith dengan kenyataan,bahwa wanita sekarang, pengertiannya ya wanita yang disebut al-hurroh itu. Lalu kok bisa-bisanya Muqsith  Ghozali dosen dan alumni UIN Jakarta ini mengatakan  bahwa Imam Ahmad dalam Kitab Mizanul Kibro, berpendapat bahwa aurat wanita itu hanyalah qubul dan   dubur. Itulah cara berbohong untuk mengkampanyekan agar wanita sekarang yang sebagian mereka sudah  memperlihatkan pusarnya itu agar lebih bertelanjang   lagi.
   Kebohongan ketiga, Muqsith menganggap Hartono Ahmad   Jaiz melanggar prinsip-prinsip dasar Al-Qur’an, karena Hartono mengharamkan nikah beda agama.  Perkataan itu sendiri sudah menyembunyikan sesuatu.  Dalam buku itu sudah ditulis, yang dipersoalkan adalah wanita muslimah dinikahi lelaki kafir, Non  Islam,Yahudi-Nasrani dan lainnya. Juga lelaki Muslim menikahi wanita Konghucu. Lalu Muqsith mengatakan   bahwa tidak ada ayat yang mengharamkan nikah beda  agama. Itu juga menyembunyikan ayat, hingga dibantah   dengan seru oleh seorang pemuda/mahasiswa secara spontan dengan mengacungkan Al-Qur’an.  Kalau Muqsith tidak menolak Al-Qur’an, tentunya mau   mengakui, Ayatnya sudah jelas, QS 60: 10, QS 2: 221, dan tentang kafirnya Ahli Kitab dalam Surat  Al-Bayyinah ayat 6. 
 Dengan cara menyembunyikan ayat, hingga justru menghalalkan nikah beda agama (seperti  yang telah disebutkan itu) adalah satu bukti justru  adanya faham yang dihembuskan dari UIN Jakarta adalah  yang menentang ayat Al-Qur’an itu. Membela kekufuran dengan kekufuran Lebih nyata lagi ketika Muqsith membela IAIN dengan  faham kekufuran. Yaitu kilah bahwa IAIN tidak mengadakan pemurtadan tetapi pluralisasi penafsiran.
   Lalu yang diangkat sebagai contoh adalah faham Ikhwanus Shofa’ yang tidak perlu melaksanakan yang  fardhu-fardhu/wajib-wajib dan cukup dengan bertasbih.
Hartono Ahmad Jaiz membalikkan kepada Muqsith, justru faham yang tidak perlu mengerjakan yang  fardhu-fardhu/wajib-wajib itulah yang sebenar-benarnya kekafiran. Dan itu sudah dikemukakan kekafirannya dalam Kitab Tafsir Al-Qurthubi dan Imam Ibnu Taimiyyah  dalam Majmu’ Al-Fatawa. 
  Yang dimaksud Hartono itu adalah apa yang ditulis Imam  Al-Qurthubi yang dimulai dengan menukil ulasan gurunya, al-Imam Abu al-’Abbas, mengenai golongan ahli kebatinan yang dihukumi sebagai zindiq yaitu: “Mereka itu berkata: Hukum-hukum syara’ yang umum adalah untuk para nabi dan orang awam. Adapun para wali dan  golongan khusus tidak memerlukan nas-nas (agama),   sebaliknya mereka hanya dituntut dengan apa yang terdapat dalam hati mereka. Mereka berhukum  berdasarkan apa yang terlintas dalam fikiran mereka.” 
  Golongan ini juga berkata: “Ini disebabkan kesucian  hati mereka dari kekotoran dan keteguhannya maka   terjelmalah kepada mereka ilmu-ilmu ilahi, hakikat-hakikat ketuhanan, mereka mengikuti rahasia-rahasia alam, mereka mengetahui hukum-hukum yang detil, maka mereka tidak memerlukan hukum-hukum yang bersifat umum, seperti yang berlaku kepada  Khidir. Mencukupi baginya (Khidir) ilmu-ilmu yang  terbuka (tajalla) kepadanya dan tidak memerlukan apa yang ada pada kefahaman Musa.” Golongan ini juga menyebut: “Mintalah fatwa dari hatimu sekalipun engkau  telah diberikan fatwa oleh para penfatwa.” 
  Selanjutnya al-Qurtubi mengulas dakwaan-dakwaan ini dengan berkata: “Kata guru kami r.a.: Ini adalah  perkataan zindiq dan kufur, dibunuhlah siapa pun yang  mengucapkannya dan dia tidak diminta taubatnya, karena dia telah ingkar terhadap apa yang diketahui dari  syariat. Sesungguhnya Allah telah menetapkan jalan-Nya  dan melaksanakan hikmah-Nya bahwa hukum-hukum-Nya tidak diketahui melainkan melalui perantaraan rasul-rasul yang menjadi para utusan antara Allah dan  makhluk-Nya. Mereka adalah penyampai risalah dan  perkataan-Nya serta pengurai syariat dan hukum-hukum.  Allah memilih mereka untuk itu dan mengkhususkan   urusan ini hanya untuk mereka.”
   “Telah menjadi ijma’ salaf dan khalaf bahwa tidak ada  jalan mengetahui hukum-hukum Allah yang berhubungan dengan suruhan dan larangan-Nya walaupun sedikit,  melainkan melalui para Rasul. Maka siapa yang berkata  “Disana ada cara lain untuk mengetahui suruhan dan larangan Allah tanpa melalui para rasul atau tidak   memerlukan para rasul” maka dia adalah kafir, dihukum   bunuh tidak diminta bertaubat, dan tidak diperlukan untuk tanya jawab dengannya (al-Jami’ li Ahkam  al-Quran jilid 11, halaman 40-41, cetakan Dar al-Fikr,   Beirut). 
  Gejala Pemurtadan di IAIN
  Hartono Ahmad Jaiz menguraikan gejala-gejala pemurtadan di AIN, di antaranya buku Harun Nasution  untuk IAIN berjudul Islam Dipandang dari Berbagai   Aspeknya menyatakan bahwa agama monotheisme itu Islam,  Kristen (Protestan dan Katolik), dan Hindu. Juga buku Sejarah Pembaharuan Pemikiran Islam tulisan Harun  Nasution untuk IAIN diantara isinya menyebut Rifaat  At-Tahtawi (Mesir) sebagai pembaharu, dan bahkan dalam  makalah dosen IAIN di bawah bimbingan Harun Nasution   di SPS (Studi Purna Sarjana) di IAIN Jogja 1977, Rifaat At-Tahtawi yang menghalalkan dansa-dansa laki perempuan disebut sebagai pembuka pintu ijtihad. Ini  adalah penyesatan. Mana ada pembaru dalam Islam   menghalalkan yang haram. Padahal dalam hadits, ada potensi zina bagi mata, tangan, mulut, hati dan dibenarkan atau dibohongkan oleh farji/ kemaluan kata   Hartono. 
  Hal itu dibantah Abdul Muqsith Ghozali dengan kitab  I’anatut Tholibin terbitan Toha Putra Semarang, dengan  dibacakan tentang definisi zina, lalu Muqsith   mengatakan, kalau hasyafah (kemaluan lali-laki) ditekuk maka bukan zina. Begitu juga dengan tangan. Hartono menjawab, “bagaimana ini, tentang zina, tangan   punya potensi zina itu saya mengutip hadits Nabi saw. Kenapa hadits Nabi dibantah pakai kitab I’anatut  Tholibin? Ya seperti inilah keluaran dari IAIN,” tegas   Hartono dengan menuding Muqsith yang di sebelah   kanannya. 
  Attamimi dengan suara lantang menantang Ulil Abshar Abdalla yang menolak hadits, yang walaupun shohih di  kitab Bukhori, namun menurut Ulil tidak sesuai, maka  ulil menolaknya. Contohnya hadis tentang orang sholat jadi batal karena adanya yang lewat yaitu anjing,  orang perempuan, dan khimar/keledai. Kata Ulil, “di  sini perempuan disamakan dengan anjing dan keledai. Jadi saya tolak, walaupun itu ada di Kitab Shohih  Bukhori,” kata Ulil. 
  Kata At-Tamimi, “apakah anda ini ahli hadits? Apa keahlian anda. Dalam hal ilmu agama ini tidak bisa hanya dengan perkataan ‘pendapat saya’. Di ilmu teknik dunia saja tidak bisa dengan ‘pendapat saya’ . Memang anda ahli apa? Apakah ahli hadits? Saya tantang anda bicara tentang hadits. Bahkan kumpulkan seluruh orang  JIL, cukup saya hadapi sendirian. Tidak bisa bicara  agama kok ‘menurut saya’, ‘menurut saya’. Bukan hanya perempuan yang disamakan dengan binatang, semua  laki-laki yang tidak percaya kepada Al-Qur’an dan  As-sunnah seperti anda ini dinyatakan dalam Al-Qur’an  seperti binatang,” seru At-Tamimi dengan lantang,   disambut dengan suara gemuruh hadirin. 
  Dua orang yang membela IAIN dan ingin merobohkan fakta pada buku Ada Pemurtadan di IAIN itu setelah gagal memberikan cap-cap buruk karena dibalikkan dengan  telak, maka justru menolak hukum Allah (sebagian  ditentang, dan bahkan dinyatakan tidak ada hukum Tuhan), dan menolak hadits walaupun diakui shahih.
  Di situ justru pada dasarnya mereka menampakkan tambahan bukti yang ada pada ungkapan-ungkapan mereka sebagai alumni, dosen dan pembela IAIN bahwa  sebenarnya IAIN memang jelas ada pemurtadan. Jadi, mereka mau menepis Adanya pemurtadan di IAIN tetapi justru terperosok pada penguatan bahwa memang benar  ada pemurtadan di IAIN secara sistematis. Itu tentu  saja sangat berbahaya.
  Buku Ada Pemurtadan di IAIN dibedah pertama kali di Islamic Book Fair di Istora Senayan Jakarta, Ahad 27 Maret 2005. Pembicara Dr Roem Rowi dosen pasca sarjana  IAIN Sunan Ampel Surabaya, dosen tafsir; dan penulis buku Hartono Ahmad Jaiz. Hadirin sekitar 500 orang. Dr Roem Rowi mengakui, di IAIN dia mengajar tafsir, namun mahasiswanya dirusak oleh pemikiran-pemikiran yang  diajarkan dalam materi pemikiran Islam (dan sejarah kebudayaan Islam), yang itu justru materi kuliah  dasar, semua mahasiswa harus ikut.
   Sehingga, ketika ditanya peserta bedah buku, ke mana untuk mendidikkan anak di perguruan tinggi yang  islami, Dr Roem Rowi tidak memberikan rekomendasi, hanya menunjuk di antaranya Universitas Islam Internasional di Malaysia. Sedangkan ketika ditanya tentang kurikulum, seberapa peran menteri agama dalam membuat kurikulum di IAIN, Roem Rowi menjawab, menteri agama masa lalu ya hanya mengikuti Dr Harun Nasution. “Seakan perkataan Harun Nasution itu qoululloh (firman  Alloh) bagi menteri agama yang lalu,” ujar Roem Rowi   yang meraih gelar doktornya dari Universitas al-Azhar  Mesir ini. 
  Disebut Ada Pemurtadan di IAIN, menurut buku itu, karena kurikulumnya, materi kuliahnya, sistem  pengajarannya, cara mengajarnya, dan dosen-dosennya banyak yang tidak sesuai dengan sistem pemahaman Islam yang benar. Tidak merujuk kepada Al-Qur’an, As-Sunnah, dengan manhaj salafus shalih. Tetapi yang dijadikan  mata kuliah dasar justru sejarah pemikiran Islam dan sejarah kebudayaan Islam, yang semuanya bukan dasar Islam, dan disampaikan tidak secara ilmu islami, tidak merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan sistem  pemahaman yang benar. Diajarkan secara liar, yaitu tanpa sanad (pertalian riwayat) hingga boleh  berkomentar apa saja sampai menghina para sahabat   sekalipun.  Akibatnya, alumni IAIN tidak bisa membedakan antara madzhab-madzhab (yang perbedaannya itu dalam wilayah furu’/ cabang, jadi boleh saja) dengan sekte-sekte  sesat (firoq dhollah) yang sudah berbeda dengan hal pokok yang benar. Bahkan sampai tak bisa membedakan  antara mukmin dengan kafir, ketika diajari tasawuf  falsafi dan apa yang disebut filsafat Islam (semuanya   dalam materi kuliah sejarah pemikiran Islam dalam mata kuliah dasar). Akibatnya, mereka menyamakan semua agama. Itulah sebenar-benarnya pemurtadan secara  sistematis lewat jalur perguruan tinggi Islam se-Indonesia baik negeri maupun swasta. Maka kurikulum, sistem pengajaran, materi, metode, dan  dosen pengajarnya perlu ditinjau ulang.
  Pembelajaran  dosen-dosen IAIN ke Barat untuk studi Islam pun perlu   dihentikan, menurut penulis buku, karena itu menjadi sumber utama pemurtadan tersebut.  Usai bedah buku di UIN Jakarta, hadirin pun berjama’ah  shalat dhuhur, tanpa ada dosen ataupun mahasiswa UIN yang maju jadi imam, hingga Ustadz Mustofa Aini  seorang hadirin alumni Universitas Islam Madinah maju untuk mengimami setelah agak lama ditunggu-tunggu tak ada yang maju. 
 Ulil, Muqsith dan sebagian besar   panitia dari BEM Fak Usuhuluddin dan Filsafat UIN   Jakarta tidak tampak ikut shalat berjama’ah. Mereka berada di mihrab sebelah imaman. Kemudian Ulil diiringi para panitia turun dan pulang setelah hadirin  yang shalat berjama’ah telah bubar pulang. 
  “Kampus Islam tidak mencerminkan Islam,” keluh di   antara yang hadir.
 Komentar: 2 Auliya Iblis besar telah tercampakkan namun tidak mau bertaubat, malah kian merajalela mencari pengikut sebanyak-banyaknya 

Sumber:http://nojil.8m.net/melawan.html
Bagikan :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Ada Pemurtadan di IAIN"

Syukron telah mengomentari tautan blog ini, Insya Alloh jadi refleksi menuju berkemajuan

 
Template By Kunci Dunia
Back To Top