Setelah perjuangan dan perlawanan panjang dan terus menerus, maka pada hari Sabtu, 9 Februari 2008, rakyat Turki berhasil memperoleh sebagian dari hak-hak hukum dan agama mereka. Berdasarkan ketetapan Parlemen Turki, sejak saat ini, kaum perempuan berhijab pun boleh memasuki universitas dan melanjutkan pendidikan mereka. Dari 550 anggota Parlemen, 411 orang memberikan suara dukungan kepada UU ini, yang berarti dapat dianggap sebagai perubahan UUD Turki. Tentu saja jumlah suara pendukung hijab di Parlemen Turki ini sangat mencolok. Dengan demikian, jika dilihat bahwa semua kekuatan sekuler di Turki, termasuk militer, partai-partai politik, Dewan Tinggi Pemerintahan dan sejumlah besar media massa, selalu berusaha mempertahankan larangan mahasiswi berhijab di Perguruan Tinggi, maka ratifikasi ini termasuk sebagai sebuah langkah penting dalam mengembalikan rakyat Turki kepada kebudayaan Islam mereka.
Di Turki, Islam memiliki sejarah yang relatif lama. Setelah kemunculan Islam di Jazirah Arab, sebagian rakyat Turki masuk ke dalam agama Islam. Di abad 11 Masehi, dengan kekuasaan Saljuqi Romawi di bagian terbesar Turki, Islam menemukan peluang penyebarannya yang luas di negara ini. Menyusul kekuasaan imperium Utsmani (Ottoman) di Turki, sejak awal abad 14 Masehi dan perluasan kekuasaannya ke negara-negara Asia dan Eropa, maka imperium ini muncul sebagai kekuatan besar di dunia. Dalam Perang Dunia pertama, imperium Utsmani yang merupakan sekutu Jerman, menghadapi kekalahan dan terpecah-pecah. Pada tahun 1923, Musthafa Kamal Pasha, yang dikenal sebagai Ataturk, mendirikan Republik Turki, dengan pemerintahan sekuler. Ia berkuasa secara diktator selama 14 tahun dan berusaha menyingkirkan agama dari urusan politik. Selama kekuasaannya Ataturk berusaha menyebarluaskan kebudayaan Barat di Turki, termasuk dengan mengganti tulisan Arab kepada Latin, dan melarang aktifitas Islam dan menghapus lambang-lambangnya.
Setelah Ataturk, usaha menyingkirkan nilai-nilai Islam dilanjutkan oleh para penerusnya, terutama dari kalangan militer. Dengan demikian, penggunaan hijab dan busana muslimah, dilarang keras di kantor-kantor dan pusat-pusat pendidikan, terutama universitas-universitas Turki, selama hampir 3 abad. Akan tetapi sejak beberapa tahun lalu, dan setelah munculnya partai Islam Keadilan dan Pembangunan, harapan rakyat muslim Turki agar larangan hijab dihapus semakin meningkat. Dalam hal ini, Recep Tayyep Erdogan, PM Turki dan Ketua Partai Keadilan dan Pembangunan, berjanji akan menyelesaikan permasalahan hijab. Melihat masalah ini, pekan lalu, Parlemen Turki mencabut larangan hijab di universitas-universitas negara ini. Langkah partai penguasa ini mendapat sambutan mayoritas rakyat Turki.
UU pencabutan larangan hijad di Universitas Turki adalah dalam rangka memelihara hak-hak individu dan sosial, yang bersumber dari ajaran dan hukum-hukum Islam. Dalam al-Quranul Karim dan hadits-hadits telah ditekankan keharusan menutup seluruh tubuh dan rambut kepala perempuan di hadapan lelaki yang bukan mahram. Dengan mengenakan hijab dan menjaga kesucian dan kemuliaannya, kaum perempuan dapat tampil di tengah masyarakat dan ikut di dalam aktifitas bersama kaum lelaki. Dengan demikian, busana muslimah bukan hanya tidak mencegah aktifitas mereka baik di bidang ekonomi, sosial dan politik, bahkan memberikan jaminan bagi terjalinnya hubungan yang sehat dan manusiawi diantara mereka, di tengah masyarakat dan lembaga-lembaga umum.
Di masa kekuasaan kaum sekuler di Turki, meski menghadapi berbagai tekanan yang membatasi pelaksanaan ajaran agama, muslimin di negara ini masih tetap menunjukkan komitmen yang tinggi kepada ajaran Islam, termasuk hijab. Sehingga tidak sedikit gadis dan perempuan Turki, demi mempertahankan hijab mereka, terpaksa melepaskan hak-hak mereka untuk bekerja di berbagai instansi, di Parlemen, atau di pusat-pusat pendidikan dan universitas. Larangan hijab di kantor-kantor, lembaga pendidikan dan universitas Turki, diberlakukan sementara 98 persen warga Turki adalah pemeluk agama Islam. Saat ini sejumlah besar perempuan berhijab di Turki, dikarenakan berbagai batasan dari sistim sekuler, terpaksa pergi ke luar negeri untuk menuntut ilmu.
Perlawanan rakyat Turki terhadap larangan busana muslimah, dalam bentuk demonstrasi dan protes yang sering kali dilakukan, selalu mendapat reaksi keras dari pemerintahan sekuler negara ini. Satu tahun setelah kemenangan Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979, dimana Iran bertetangga dengan Turki, kalangan militer negara ini, dipimpin oleh Kan'an Oren, menguasai kendali seluruh urusan negara ini secara resmi. Sejak saat itu, peraturan-peraturan yang semakin berat anti hijab diberlakukan. Karena mereka merasa cemas bahwa muslimin Turki akan terpengaruh oleh Revolusi Islam, dan akan menuntut pula pemberlakuan hukum-hukum Islam di negara mereka. Sejak itu, hijab muncul sebagai salah satu topik kontroversial di Turki.
Pada tahun 1979, Turgut Ozal, PM Turki saat itu, mengumumkan kebebasan peremuan berhijab untuk memasuki universitas-universitas. Akan tetapi Kan'an Oren, Presiden Turki, segera menolak hal itu. Dengan naiknya Partai Kesejahteraan pimpinan Necmedin Erbakan, pada tahun 1996, sebagai pemegang kendali pemerintahan Turki, maka harapan kepada kebebasan hijab di negara ini semakin meningkat. Akan tetapi para penguasa militer yang sekuler, menggulingkan pemerintahan ini dan mencegah realisasi tuntutan rakyat. Kini, ketika Partai Keadilan dan Pembangunan berencana menghapus larangan hijab, lembaga-lembaga sekuler merasa cemas bahwa penghapusan larangan hijab di Unversitas akan merembet kepada penghapusan larangan hijab di seluruh lapisan masyarakat negara ini. Demikian pula dengan alasan bahwa penghapusan larangan hijab berlawanan dengan dasar-dasar sekulerisme dan Ataturk, mereka berusaha mendorong kalangan militer untuk menentang pemerintahan Erdogan.
Pada tahun 2002, partai Islam Keadilan dan Pembangunan, dalam kondisi yang berbeda, berhasil menguasai pemerintahan Turki. Semangat keislaman rakyat Turki pun meningkat dengan mencolok, dan menuntut dengan lebih serius agar dilakukan reformasi internal, terutama pencabutan larangan hijab. Pemerintahan Recep Tayyep Erdogan, pemimpin partai ini, berhasil merealisasikan sebagian reformasi ekonomi di Turki, sehingga pertumbuhan ekonomi Turki saat ini mencapai lebih dari 8 persen, dan inflasi berada di bawah 10 persen. Akan tetapi, kalangan sekuler di negara ini menunjukkan sikap keras mereka. Dengan terpilihnya kembali pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan, dengan dukungan suara rakyat Turki dalam jumlah besar, maka peluang untuk kebebasan hijab kaum perempuan Turki di Universitas, sekolah-sekolah dan instansi pemerintah, semakin terbuka.
Akan tetapi tampaknya tekanan-tekanan dari kalangan sekuler telah mencegah usaha para pemimpin Islam Turki untuk membebaskan masuknya kaum perempuan berhijab di semua instansi pemerintah dan pusat pendidikan. Koran Inggris Herald Tribune, berkenaan dengan masalah ini menulis, "Demokrasi hijab di Turki, dengan ratifikasi UU baru pencabutan larangan hijab, telah mematahkan kediktatoran Ataturk dan politik Barat berkenaan dengan busana muslimah." Sebagaimana telah disebutkan, kecenderungan kepada Islam pada umumnya, dan penggunaan hijab pada khususnya, mengalami peningkatan mencolok di tahun-tahun terakhir, di Turki. Sebuah poling menunjukkan bahwa dalam empat tahun terakhir, busana muslimah di Turki mengalami peningkatan lebih dari 5 persen, yang mencakup sekitar 70 persen kaum perempuan negara ini. Berdasarkan hasil poling tersebut, jumlah perempuan tak berhijab di Turki menurun 47 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sejumlah besar kaum perempuan Turki menginginkan penjagaan hijab dan kehormatan mereka sebagai manusia. (IRIB)
0 Komentar untuk "Turki dan kembalinya Kebebasan Perempuan Belajar Berhijab"
Syukron telah mengomentari tautan blog ini, Insya Alloh jadi refleksi menuju berkemajuan