Powered by Blogger.

ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG ABORSI

Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi kesucian kehidupan. Hal inidibuktikan dengan sejumlah ayat-ayat dalam al-Qur’an yang bersaksi terhadap hal tersebut. Dalam surat al-Isro’ (17) ayat 31 dan 33, juga dijelaskan:
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلَاقٍ ۖ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيَّاكُمْ ۚ إِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْئًا كَبِيرًا (17:31)

Artinya :”Dan janganlah kamu membunh anak-anakmu karena takut melarat. Kamilahyang memberi rejeki kepada mereka dan kepadamu juga.   Sesunguhnyamembunuh mereka adalah dosa yang besar”.
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا (17:33)

Artinya :”dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar[853]. dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan[854] kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.

Berdasarkan ayat-ayat tersebut, Islam memberikan landasan hukum yang jelas bahwa kehidupan manusia itu suci sehingga haruslah dipelihara dan tidak boleh dihancurkan (diakhiri) kecuali dilakukan untuk suatu sebab atau alasan yang benar, seperti dalam eksekusi hukuman mati atau dalam perang, atau dalam pembelaaan diri yang dibenarkan. Berikutnya akan dianalisis pandangan-pandangan ulama fikh tentang aborsi, argumentasi methodologis (usul fikh), solusi fikh, dan argumentasi fikh aborsi.

1. Pandangan Ulama Fikih Tentang Aborsi

Yusuf Qardhawi mengatakan, bahwa pada umumnya merujuk pada ketentuan hukum Islam, praktik aborsi adalah dilarang dan merupakan kejahatan terhadap makhluk hidup oleh sebab itu hukuman sangat berat bagi mereka yang melakukannya. Hal yang sama dikemukakan oleh Muhammad Mekki Naciri, bahwa semua literatur hukum Islam dari mazhab-mazhab yang ada sepakat untuk mengatakan, bahwa aborsi adalah perbuatan aniaya dan sama sekali tidak diperbolehkan kecuali jika aborsi didukung dengan alasan yang benar.  Meski demikian pendapat para ulama berkaitan dengan kasus di atas yang berakhir dengan aborsi sangat beragam, khusunya dalam hal penentuan bilakah dibolehkannya pengguguran kandungan dengan alasan yang dibenarkan tersebut. Ulama dari madzhab Hanafi membolehkan pengguguran kandungan sebelum kehamilan berusia 120 hari dengan alasan belum terjadi penciptaan. Pandangan sebagian ulama lain dari madzhab ini hanya membolehkan sebelum kehamilan berusia 80 hari dengan alasan penciptaan terjadi setelah memasuki tahap mudghah atau janin memasuki usia 40 hari kedua. Mayoritas ulama Hanabilah membolehkan pengguguran kandungan selama janin masih dalam bentuk segumpal darah (‘alaqah) karena belum berbentuk manusia. Syafi’iyah melarang aborsi dengan alasan kehidupan dimulai sejak konsepsi, di antaranya dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, tetapi sebagian lain dari mereka yaitu Abi Sad dan Al-Qurthubi membolehkan. Namun Al-Ghazali dalam Al-Wajiz pendapatnya berbeda dengan tulisannya dalam Al-Ihya, beliau mengakui kebenaran pendapat bahwa aborsi dalam bentuk segumpal darah (‘alaqah) atau segumpal daging (mudghah) tidak apa-apa karena belum terjadi penyawaan.28 Kecuali mayoritas ulama Malikiyah melarang aborsi. Landasan hukum yang digunakan sebagai argumentasi bagi ulama-ulama tersebut adalah dua hadis Nabi berikut: “Dari Abi Abd Rahman Abdillah bin Mas’ud RA berkata: Rasulullah menceritakan kepada kami sesungguhnya seseorang dari kamu kejadiannya dikumpulkan dalam perut ibumu selama 40 hari berupa nuthfah, kemudian menjadi segumpal darah (‘alaqah) dalam waktu yang sama, kemudian menjadi segumpal daging (mudghah) juga dalam waktu yang sama. Sesudah itu malaikat diutus untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diutus untuk melakukan pencatatan empat perkara, yaitu mencatat rizkinya, usianya, amal perbuatannya dan celaka atau bahagia” (HR. Muslim)”.29 “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda bahwa apabila nutfah telah melewati empat puluh dua hari, Allah mengutus malaikat untuk membentuk rupanya, menjadikan pendengarannya, penglihatannya, kulitnya, dagingnya, dan tulangnya, kemudian malaikat bertanya: Wahai Tuhanku, apakah dijadikan laki-laki atau perempuan? Lalu Allah menentukan apa yang dikehendaki, lalu malaikat itu pun menulisnya”.(HR. Muslim)30 Namun demikian pandanagn ahli fikh yang membolehkan aborsi tersebut dalam realitas sosial tidak dapat dijadikan alternatif bagi perempuan yang tidak menghendaki kehamilannya. Meskipun demikian, dalam konteks Indonesia berdasarkan Keputusan Fatwa Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: I/MUNAS VI/MUI/2000 tanggal 29 Juli 2000 ditetapkan:
(1) Melakukan aborsi (pengguguran janin) sesudah nafkh al-ruh hukumnya adalah haram, kecuali jika ada alasan medis, seperti untuk menyelamatkan jiwa si ibu;

(2) Melakukan aborsi sejak terjadinya pembuahan ovum, walaupun sebelum nafkh al-ruh, hukumnya adalah haram, kecuali ada alasan medis atau alasan lain yang dibenarkan oleh syari’ah Islam;

(3) Mengharamkan semua pihak untuk melakukan, membantu atau mengizinkan aborsi. 

Ketetapan MUI tersebut, apabila dicermati bahwa pada dasarnya sebagaimana ahli fikh umumnya, MUI mengharamkan praktik aborsi termasuk di dalamnya pihak yang turut serta melakukan, membantu dan mengizinkan aborsi. Meski demikian terdapat kebolehan aborsi apabila memenuhi beberapa unsur:
Pertama, melakukan aborsi sebelum ditiupkannya ruh (nafkh al-ruh); Kedua,melakukan aborsi sebelum ditiupkannya ruh (nafkh al-ruh), hanya boleh dilakukan  apabila: 
(1) jika ada alasan medis, seperti untuk menyelamatkan jiwa si ibu; dan
(2) ada alasan lain yang dibenarkan oleh syari’ah Islam.

Perdebatan di antara ahli fikih dalam hal aborsi tersebut, jika kita amati, akar perdebatannya adalah pada batas kehidupan. Sejak kapan sesungguhnya kehidupan itu dimulai? Bahasa yang digunakan teks sulit sekali diklarifikasi, hanya menyatakan “sebelum tercipta” atau “sebelum menjadi manusia” (qabla takhalluq). Al-Qur’an menyebutkan proses pentahapan penciptaan manusia terdiri dari nutfah, ‘alaqah dan mudghah, kemudian Allah menjadikan makhluk dalam bentuk lain, sebagaimana diinformasikan Q.S. Al-Mukminun/23:12-14) berikut:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ (23:12) ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ (23:13) ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ (23:14)
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu dari saripati tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu menjadi air mani yang tersimpan di tempat yang aman dan kokoh. Dalam perkembangan selanjutnya, air mani itu Kami olah menjadi segumpal darah, dan segumpal darah itu Kami olah menjadi segumpal daging. Lalu segumpal daging itu Kami olah menjadi tulang belulang. Selanjutnya tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Selanjutnya Kami jadikan makhluk yang berbentuk lain dari yang sebelumnya. Maha Suci Allah Pencipta yang Paling Baik”. 

Dalam ayat tersebut tidak menjelaskan secara tegas kapan sesungguhnya memasuki kehidupan sebagai manusia, apakah sejak tersimpan dalam rahim atau istilah kedokteran sejak zigot melekat dalam endometrium yang disebut dengan nidasi (implantasi) atau apakah sejak Tuhan menjadikannya sebagai makhluk yang berbentuk lain dari yang sebelumnya (khalqan aakhar). Kata khalqan berasal dari khalaqa artinya penciptaan. Di dalam Al-Qur’an ditemukan makna yang sama antara khalaqa dan ja’ala, seperti khalaqa minha zaujaha (An-Nisa/4:1) dan ja’ala minha zaujaha (Al-A’raf/7:189), keduanya memiliki arti yang sama. Tetapi dalam hal penciptaan ini, kata khalaqa menunjukkan kemahakuasaan dan kehebatan Allah yang tiada tara, sedangkan kata ja’ala hanya menunjukkan bahwa penciptaan itu dari materi yang sudah ada, yakni nafs waahidah (satu jenis dari bahan baku yang sama). 

Al-Qur’an juga menunjukkan bahwa penciptaan dengan kata khalq bersifa gradual, seperti manusia berasal dari percampuran antara spermatozoa laki-laki dan ovum perempuan, kemudian menjadi zigot, embrio dan seterusnya.  Sedangkan kata khalqan aakhar, artinya binafkhi alruh fiih, dengan meniupkan ruh ke dalam penciptaannya.  Mengenai batas awal kehidupan manusia kapan persisnya roh ditiupkan, di dalam hadis pun tidak dijelaskan, hanya disebutkan bahwa proses sperma (nutfah) berlangsung selama 40 hari pertama, 40 hari kedua berupa segumpal darah (‘alaqah) dan 40 hari ketiga berupa segumpal daging (mudghah), setelah itu baru ditiupkan roh. Tetapi roh itu apa? Tidak ada penjelasan secara rinci, hanya disebut bahwa roh adalah urusan Tuhan. Tetap misterius hingga sekarang, karena hanya Tuhan yang mengetahui, sebagaimana disebutkan Al-Qur’an surat Al-Israa’/ 17:85 tadi. Teks tersebut adalah fakta yang menginformasikan bahwa roh adalah otoritas Tuhan, kapan ditiupkan ke dalam jiwa manusia menjadi kehidupan dan kapan dilepaskan dari dalam jiwa manusia menjadi sebuah kematian tidak ada seorang pun yang mengetahui. Meskipun proses kehidupan dan kematian tersebut seluruhnya merupakan hukum alam (sunnatullah), tetapi tidak seluruhnya transparan dapat diketahui manusia karena ada rahasia alam yang menjadi domain Tuhan yang disebut metafisik (gha’ib), hanya bisa dirasakan tetapi tidak dapat diinderakan. Secara eksplist dari hadis di atas tertangkap informasi bahwa roh ditiupkan ke dalam janin setelah 40 hari ketiga atau setelah kehamilan berusia 120 hari. Sementara dalam Al-Qur’an, dengan kata khalqan aakhar yang memiliki arti ditiupkan roh kedalam janin (binafkhi al-ruuh fiih) menunjukan bahwa proses pembentukan manusia sudah berakhir saat roh ditiupkan kedalam janin. Setelah itu, janin disebut menjadi makhluk yang lain yang secara substansial telah memiliki akal dan raga. Berbeda dengan sebelumnya yang secara substansi hanya memiliki raga tetapi belum berakal. Mengenai waktunya, saat kehamilan usia berapa hari peniupan roh tersebut terjadi, menjadi rahasia Tuhan sejak ayat tersebut turun hingga sekarang. Hal tersebut diakui oleh Gulardi Wignjosastro33, pakar kebidanan dan kandungan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bahwa tidak ada satu alat pun yang dapat mendeteksi kapan kehidupan manusia itu dimulai.2. Argumentasi Methodologis (Ushul fiqh) 

Fikih sebagai sebuah ilmu yang berisi seperangkat hukum-hukum Islam yang bersifat praktis (amaliyah) harus mampu menjembatani antara hakikat hukum yang dikehendaki Tuhan (Syari’) dengan realitas kehidupan yang dialami manusia sebagai pelaksana hukum. Seluruh tindakan manusia baik berupa transaksi antar sesame manusia (mu’amalah) maupun yang bersifat transendental hanya berhubungan dengan Tuhan (ibadah) di dalam syari’at Islam telah diatur hukum-hukumnya. Ketentuan normatif tersebut secara umum (universal) telah diatur di dalam Al- Qur’an berupa teks (nash) sebagai sumber utama pembentukan hukum Islam yang dijadikan pedoman hidup bagi umat Islam. Namun tidak seluruh teks Al-Qur’an  menjelaskan secara tegas dan mudah ditangkap maksudnya tetapi membutuhkan penjelasan untuk memahami isinya yang sebagian ada di dalam hadis dan sebagian lain membutuhkan penafsiran karena hadis tidak menjelaskannya. Nash di dalam Al-Qur’an maupun hadis ada dua macam: pertama, bersifat pasti (qath’iy) yaitu dikemukakan dengan bahasa yang tegas, memiliki arti yang jelas, tidak ada makna lain yang terkandung di dalamnya kecuali yang tersurat dan tidak membutuhkan penafsiran, atau disebut dengan ayat-ayat muhkamat. Teks-teks tersebut mengandung prinsip-prinsip universal, bersifat mutlak, tidak terbatas pada ruang dan waktu. Kedua, bersifat menduga-duga (dzanny) yaitu dikemukakan dengan bahasa yang tidak tegas, memiliki banyak arti yang memungkinkan untuk ditafsirkan dengan makna lain (interpretable), atau disebut dengan ayat-ayat mutasyabihat. Teks-teks tersebut terbatas pada ruang dan waktu tertentu, bersifat khusus.34 Teksteks yang tidak tegas inilah yang menjadi lahan penggalian hukum dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan manusia yang tidak ditemukan jawabannya di dalam Al-Qur’an maupun hadis. Untuk mengeluarkan hukum dari teks-teks yang bersumber dari Al-Qur’an maupun hadis baik secara tekstual (dzahir nash) maupun yang tersirat dari jiwa dan semangat teks (kontekstual) di masa Rasulullah masih hidup tidak ada persoalan, karena beliau langsung memandunya dan apabila menemukan ketidak jelasan hukum para sahabat dapat menanyakan langsung kepada beliau. 

Tradisi penggalian hukum terhadap persoalan-persoalan kehidupan yang tidak ditemukan hukumnya di dalam teks Al-Qur’an maupun hadis sudah dilakukan oleh para sahabat Nabi. Bahkan Rasulullah memotivasi keberanian para sahabat dan umatnya yang memiliki kemampuan untuk menggali hukum (ijtihad) supaya diperoleh ketetapan hukum yang dinamis sesuai dengan situasi dan kondisi zaman, sebagaimana sabda beliau: “Apabila seorang hakim hendak menetapkan sesuatu hukum dengan berijtihad kemudian ijtihadnya tepat, maka baginya mendapat dua pahala. Dan apabila ia hendak menetapkan suatu hukum dengan berijtihad kemudian ijtihadnya salah, maka baginya mendapat satu pahala”35 Selain itu, Nabi juga mengajarkan dan melatih kepada para sahabatnya mengenai bagaimana cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya yang bersifat universal tersebut supaya dapat diterjemahkan ke dalam realitas kehidupan nyata. Sikap tersebut dapat dilihat dalam dialog antara Nabi dengan Mu’adz bin Jabal ketika hendak diutus beliau ke Yaman, beliau bersabda: “Bagaimana anda memutuskan suatu hukum ketika anda diminta untuk menentukan suatu keputusan?” Jawab Mu’adz: “Aku akan memutuskan dengan kitab Allah”. Rasulullah bertanya lagi; “jika anda tidak menemukan di dalam kitab Allah?” Mu’adz menjawab: “dengan sunnah Rasulullah”. Rasul bertanya lagi; ”jika anda tidak menemukan di dalam sunnah Rasul-Nya?” Jawab Mu’adz; “aku akan melakukan ijtihad dengan pendapatku, dan aku tidak akan menyempitkan ijtihadku”. Mu’adz lalu berkata; Rasulullah kemudian menepuknepuk dadaku dengan tangan beliau sambil mengucapkan; “segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk terhadap utusan Rasul dengan jalan yang direstui oleh Rasulullah”.36 Begitu juga dengan kondisi sekarang di mana banyak kejadian yang ditimbulkan oleh tuntutan zaman yang terus berubah seringkali membutuhkan kepastian hukum, bahkan sama sekali tidak pernah terjadi dalam kehidupan di masa Rasulullah dan para sahabatnya. Di sinilah peran fikih untuk menentukan ketetapan dan penjelasan terhadap masalah-masalah tersebut berdasarkan pada dalil-dalil agama (syar’iyyah). Dalil-dalil agama secara umum bersumber pada empat landasan pokok, yaitu:
1) Al-Qur’an, 2) Hadis (As sunnah), 3) Kesepakatan para ulama (Ijma’) dan 4) Analogi hukum (Qiyas). Menurut mayoritas ulama (jumhur al-ulama), keempat landasan tersebut disepakati sebagai dalil. Selain itu, mereka sepakat bahwa cara penggunaan dalil tersebut secara kronologi sebagaimana urutan yang tersebut di atas.

Dengan kata lain, jika terjadi suatu permasalahan yang membutuhkanpemecahan hukum Islam maka upaya yang dilakukan adalah mencari dalil atau hukum di dalam Al-Qur’an. Jika di dalam Al-Qur’an itu ditemukan hukumnya makahukum tersebut yang dilaksanakan. Tetapi jika di dalam Al-Qur’an tidak ditemukanhukumnya, maka mencarinya di dalam hadis. Bila ditemukan hukumnya di dalamhadis maka hukum itu yang harus dilaksanakan. Bila di dalam hadis ternyata tidakditemukan hukumnya maka harus melihat pada hasil kesepakatan para penggalihukum (mujtahid), apabila ketentuan hukum tersebut ditemukan maka hukum ituharus dilaksanakan. Tetapi tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan penggalianhukum (ijtihad)sendiri dengan cara menganalogikan terhadap persoalan yangsudah ada hukumnya (qiyas).Jadi, karakter fikih pada prinsipnya adalah dapat diterapkan (applicable),menawarkan solusi terhadap persoalan-persoalan kehidupan yang dialami manusiadan mengantarkan pada kesejahteraan atau kemaslahatan umum (al-mashalih al-‘ammah). Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam kaidah pembentukan hukumIslam bahwa tujuan utama pembentukan hukum Islam (maqashid al-syari’ah) adalahmerealisir kemaslahatan bagi kehidupan manusia dengan mendatangkankesejahteraan dan menjauhkan bahaya dalam kehidupan mereka. Kemaslahatanmanusia itu dapat terwujud apabilaterjamin kebutuhan pokok (dharuriyah),kebutuhan sekunder (hajiyah) maupun kebutuhan pelengkapnya (tahsiniyah).

Kesimpulan Sementara
Aborsi pada dasarnya adalah fenomena yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Aborsi dapat dikatakan sebagai fenomena "terselubung" karena praktik aborsi sering tidak tampil ke permukaan, bahkan cenderung ditutupi oleh pelaku utaupun masyarakat, bahkan negara. Ketertutupan ini antara lain dipengaruhi oleh hukum formal dan nilai-nilai sosial, budaya, agama yang hidup dalam masyarakat serta politik. Hukum Islam maupun Undang-Undang Nomor 39 tahun 2009 sama-sama memandang bahwa aborsi adalah suatu kejahatan (tindak pidana), sehingga memberikan hukuman bagi siapa saja yang melakukannya. Meskipun demikian Hukum Islam maupun Undang-Undang Nomor 39 tahun 2009 memberikan ’kebolehan’ aborsi pada kasus:
(1) apabila kehamilan tersebut akan membahayakan bagi ibu dan janin;
(2) kehamilan tidak diharapakan akibat perkosaan.
Kebolehan aborsi tersebut harus memrujuk pada ketentuan-ketentuan medis, sehingga dalam praktiknya tidak mebawa akibat yang lebih buruk bagi si ibu, dan terutama dalam hukum Islam haruslah merujuk pada syar’i yang telah ditetapkan.


Bagikan :
+
Previous
Next Post »
1 Komentar untuk "ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG ABORSI"

SYukron artikelnya.. sangat membantu kami dlm memahami hukum aborsi.

Syukron telah mengomentari tautan blog ini, Insya Alloh jadi refleksi menuju berkemajuan

 
Template By Kunci Dunia
Back To Top